Bayangkan jika peradaban kuno yang selama ini kita kenal sebagai simbol kejayaan dunia, ternyata akarnya terentang hingga ke sebuah situs megalitik di Indonesia. Sebuah pemikiran yang bisa bikin kita bengong saking besarnya dampak budaya Nusantara terhadap sejarah manusia. Pagi itu, sinar matahari menembus rimbun pepohonan, disambut embusan angin sepoi-sepoi yang membelai kulit, menghadirkan nuansa damai di kaki Gunung Padang. Situs yang terletak di Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, ini konon merupakan peninggalan prasejarah kebudayaan megalitikum di Jawa Barat.
Gunung Padang saat ini jadi buah bibir para ahli dan masyarakat luas. Pasalnya, situs ini disebut-sebut lebih tua dari piramida Mesir. Jika klaim ini benar, maka peradaban pertama di dunia bisa jadi bermula di Tanah Air. UASI Indonesia akan mengajak Anda menelusuri lebih dalam situs Gunung Padang ini, serta menelisik tanggapan dan pandangan para peneliti mengenai keberadaannya.
Untuk memulai penelusuran di situs Gunung Padang, diperlukan stamina ekstra. Pendaki harus menapaki 370 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat dan panjang 110 meter untuk mencapai puncak. Di sana, Ali Akbar, seorang arkeolog yang telah meneliti situs ini selama hampir 13 tahun, menyambut dengan hangat.
“Selamat datang di situs Gunung Padang,” sapa Ali Akbar.
“Terima kasih, Pak. Saya masih terkesan sekali, areanya luas banget,” balas tim UASI Indonesia. “Sebenarnya berapa sih luasnya, Pak? Dan apa sih sebenarnya Gunung Padang ini?”
Ali Akbar menjawab, “Bukan hanya Anda yang terkesan. Saya berkali-kali ke sini juga masih terkesan. Awalnya, riset senior-senior saya mengestimasi luasnya 900 meter persegi, kurang dari satu hektar. Tapi setelah kami melakukan riset lebih lanjut, membuka area utara, selatan, timur, dan barat, ternyata ada struktur susunan batu buatan manusia sehingga luasnya mencapai 30 hektar. Ini bangunan prasejarah terbesar di dunia.”
Metode Penelitian Multidisiplin dan Temuan Mengejutkan
Ali Akbar menjelaskan bahwa penelitian Gunung Padang dimulai sejak tahun 2012 dengan metode multidisiplin ilmu. Berbagai ahli dari bidang arkeologi, geofisika, arsitektur, hidrologi, geologi (lebih detail), petrologi, geografi, hingga filologi, bergabung dalam tim riset.
“Kami menggunakan bor berdiameter 5 cm dengan selongsong, sehingga apa pun yang dilewati bor akan terbawa saat diangkat,” jelas Ali Akbar. “Ternyata, di bagian atas ada batu, sedikit di bawahnya tanah, persis seperti hasil geofisika. Di bawahnya lagi ada batu, lalu tanah lagi. Dari sini kami tahu bahwa di bawah permukaan situs Gunung Padang itu bukan formasi alami, melainkan susunan buatan manusia.”
Ali Akbar menambahkan bahwa batuan penyusun Gunung Padang adalah columnar joint atau tiang heksagonal, yang merupakan batuan alami dari perut bumi yang merekah saat kering. “Awalnya saya kira batunya berasal dari bawah sini, tapi setelah melihat hasil pemindaian geofisika, pengeboran, dan ekskavasi, ternyata di bawah ini sebenarnya tanah, bukan batu. Lalu dari mana sumber batunya? Bukan dari sini. Kami sudah survei, sumber batuannya ada 5 kilometer di utara dan 2 kilometer di selatan situs Gunung Padang.”
Fungsi Situs dan Kontroversi Usia
Penelitian multidisiplin telah mengungkap banyak hal, namun pertanyaan besar masih menggantung: untuk apa struktur bebatuan monumental ini dibangun pada masanya?
“Ini untuk sementara, sejauh penelitian berlangsung, merupakan bangunan untuk ritual keagamaan atau seremoni keagamaan,” papar Ali Akbar. “Ada bangunan-bangunan yang disusun, misalnya tempat masuk. Orang-orang akan duduk di sini, menaruh seserahan atau sesajian, lalu keluar lagi dari pintu. Artinya, satu bukit ini sudah didesain oleh perancangnya. Ada tempat bagi umat menunggu, dan ada tetua atau tokoh-tokoh yang berjalan melewati tangga menuju ke atas. Singkatnya, ada semacam ruangan-ruangan kecil atau denah-denah kecil, yang kini tiang dan atapnya sudah tidak terlihat lagi.”
Perbincangan hangat di masyarakat mengenai Gunung Padang tak lepas dari hasil penelitian Ali Akbar yang menyebutkan bahwa situs ini adalah yang tertua di dunia, bahkan lebih tua dari Piramida Mesir.
“Lapisan yang kita lihat sekarang ini sebenarnya lapisan yang muda, usianya 500 sebelum Masehi. Kita sebut saja lapisan budaya pertama,” jelas Ali Akbar. “Muda, tapi sebenarnya sudah lebih tua dari Candi Borobudur yang 800 Masehi. Nah, situs Gunung Padang yang muda ini, yang 500 sebelum Masehi di permukaan, ketika kita riset lagi ke dalam, ternyata ketemu lagi lapisan budaya yang lebih tua.”
Lapisan yang lebih tua ini ditemukan pada kedalaman rata-rata 2 hingga 4 meter. “Kalau di atas, yang muda di atas, yang tua di bawah. Tapi kalau lereng, posisinya begini. Nah, ini kita lihat, misalnya, ini lapisan yang tua ini sebenarnya yang usianya sekitar 5.900 sebelum Masehi,” kata Ali Akbar sambil menunjuk sebuah bagian situs. “Yang di atas ini, yang muda. Jadi, yang tua ini yang 5.900 sebelum Masehi, ini yang lebih tua dari piramida Mesir. Kalau piramida Mesir itu kan sekitar 2.500 sebelum Masehi.”
Perdebatan Ilmiah dan Perspektif Berbeda
Penelitian situs Gunung Padang yang telah dimulai sejak tahun 1979 memang memunculkan beragam interpretasi. Perbedaan metode penelitian hingga sampel yang digunakan menghasilkan kesimpulan yang bervariasi.
Perdebatan mengenai Gunung Padang sebagai piramida tertua di dunia, yang mengalahkan usia Piramida Giza di Mesir, kian menyeruak hingga ke panggung internasional. “A pyramidal structure could potentially be 27,000 years old, totally debated, older than anything in ancient Egypt, right? Which is of course not true. Now let’s have a look at that, that doesn’t look like a pyramid, that looks like a terraced hill,” ujar seorang pakar dalam sebuah klip video internasional, menunjukkan adanya keraguan.
Beragam interpretasi antar ilmuwan pun mengemuka. Sebagian peneliti percaya situs ini murni terbentuk dari proses alam. Sebagian meyakini Gunung Padang sengaja dibangun manusia dengan pengetahuan geometris dan teknik yang tinggi jauh sebelum peradaban Mesopotamia atau Mesir kuno muncul.
Untuk mencari perspektif lain, tim UASI Indonesia bertemu dengan Luty Yondri, arkeolog Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) yang telah menghabiskan hampir separuh hidupnya meneliti situs ini. Berbeda dengan Ali Akbar yang menggunakan metode arkeologi dan ekskavasi untuk menentukan usia Gunung Padang, Yondri mengambil pendekatan berbeda dengan menggunakan analisis lapisan batuan dan stratigrafi berdasarkan metode geologi.
“Mesir sudah dapat umur karbonnya 2.450 tahun sebelum Masehi,” ujar Yondri. “Di Gunung Padang juga sudah dapat umur karbonnya pada saat struktur itu dibangun 117 tahun sebelum Masehi sampai 45 tahun sebelum Masehi. Jadi, jauh-jauh lebih muda dari piramida Mesir Kuno.”
Yondri melanjutkan, “Kemudian kita bisa membandingkan lagi peradabannya. Kalau kita ambil peradaban itu penanda sejarahnya ada tulisan. Mesir Kuno 3.000 tahun sebelum Masehi sudah punya hieroglif, sudah punya tulisan. Kita di Jawa Barat, di Indonesia, baru punya tulisan abad kelima 500 tahun sesudah Masehi. Sementara Mesir Kuno 3.000 tahun sebelum Masehi. Jadi kita tertinggal peradabannya hampir 3.500 tahun sesudah Mesir Kuno. Itu gimana kita mengatakan itu lebih tua daripada Mesir Kuno?”
Dari hasil penelitiannya, Yondri meyakini bahwa batuan columnar joint yang ada di sekitar Gunung Padang berasal dari bekuan lava dua gunung berapi aktif di sekitar Gunung Padang, yakni Cimandiri dan Cikondang.
“Gunung Padangnya murni proses alam, punden berundaknya itu murni budaya,” tegas Yondri. “Dari proses alam itu, mereka tambang batuan yang terbentuk di situ. Sisa gunung api purba oleh Profesor Sudino Bronto, karena belum ada namanya, desanya di situ Desa Karya Mukti, Profesor Sudino Bronto mengatakan itu Gunung Api Purba Karya Mukti. Dan di situ dulu gunung api aktif kemudian mati. Dari gunung api aktif itulah mengeluarkan lava. Lava itu membeku dan merekah membentuk columnar joint itu jutaan tahun yang lalu. Kemudian baru datang masyarakat Austronesia yang melakukan pemujaan nenek moyang, melakukan upacara membentuk punden berundak di situ.”
Yondri juga menyinggung dugaan adanya kuburan di situs tersebut. “Kalau kita baca NJR maupun Verbik, dia mengatakan ada indikasi kuburan di situ. Ekskavasi saya di Gunung Padang itu saya tidak menemukan indikasi penguburan sama sekali. Dan di situ saya menyimpulkan bahwa situs Gunung Padang berundak itu sebagai tempat pemujaan. Nah, sumur di bagian bawah itu merupakan bagian dari pesucian diri dari proses ritual sebelum masyarakat itu melakukan upacara di Gunung Padang pada masa lalu.”
Migrasi Austronesia dan Kosmologi Sunda Kuno
Peristiwa migrasi masyarakat Austronesia ke Nusantara sekitar tahun 1500 sebelum Masehi dipercaya sebagai penanda awal campur tangan manusia di situs Gunung Padang. Situs ini menjadi representasi peradaban Austronesia melalui tradisi megalitik, kepercayaan animisme, dinamisme, serta perannya sebagai pusat ritual leluhur yang mencerminkan struktur sosial dan spiritual khas budaya Austronesia di Nusantara.
“Di negeri Widarba, Prabu Jayapurusa ngawinkeun anak sewuna ngaran Raden Jaya Amijaya Kens Kensapi, di incu resikumbana di Gunung Padang,” kutip seorang ahli dari naskah lontar. “Ada dalam naskah lontar itu dalam cerita Ratu Pakuan, disebutkan seorang tokoh yang berasal dari Gunung Padang. Kemudian dalam naskah Purusangkara itu mengisahkan raja-raja yang mengutus ke wilayah Gunung Padang. Jadi, Gunung Padang difungsikan sebagai salah satu tempat orang spiritualis.”
Peradaban Austronesia membentuk landasan budaya yang mempengaruhi sistem kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Konsep penggunaan gunung dan batu sebagai tempat suci berkembang dan diintegrasikan ke dalam struktur sosial dan spiritual pada masa itu.
“Terus pindah ka Gunung Padang jeung anu disembahna cahaya jeung jadi baju keagungan raja putra. Terus pindah deui ti Gunung Padang ka wetan nyaeta seja ngadeuhus ka Ratu Galuh anu jadi pangawasa kiwari,” sebut seorang informan, menjelaskan pergeseran lokasi dan pemujaan dalam tradisi Sunda Kuno. “Pandangan kosmologi Sunda memang secara umum, khususnya Sunda kuno, bahwa gunung itu dipandang sebagai salah satu tempat suci, presentasi dari tempat suci, dan di Sunda ada bukan hanya gunung tapi merefleksikan gunung sebuah tempat yang ditinggikan.”
Piramida atau Punden Berundak?
Kembali ke pertanyaan awal: Benarkah Gunung Padang sebenarnya adalah piramida tertua di dunia menggantikan posisi Piramida Giza di Mesir?
“Tentu kalau orang membaca piramida pasti diasosiasikan ke Mesir. Fungsinya tempat kuburan. Kemudian dari bentuk bangunnya bentuk limas, dari rumus matematikanya bentuk bangun segitiga yang memang segiempat,” jelas Luty Yondri. “Kita terapkan di Gunung Padang, terdefinisikan enggak itu? Nah, Gunung Padang itu sejak dahulu kita mengatakan itu punden berundak. Kalau kita mau ikut tren dunia, kita bisa pakai punden berundak itu step terraced berundak.”
Upaya Pelestarian dan Harapan ke Depan
Di tengah kontroversi tentang Gunung Padang, berbagai macam paradigma perlu ditempatkan dalam konteks pelestarian yang lebih komprehensif. Oleh karena itu, negara hadir melalui berbagai upaya pelestarian, tidak hanya untuk kepentingan ilmiah semata, tetapi lebih jauh untuk memperkenalkan kebudayaan nasional ke kancah dunia.
Sebagai salah satu situs megalitikum besar di Asia Tenggara, Gunung Padang menyimpan nilai historis dan arkeologi yang masih diteliti hingga kini. Sehingga diperlukan perlindungan situs yang signifikan untuk memastikan keberlanjutan riset. Fakta ini mendorong pemerintah untuk aktif melestarikan situs, termasuk pembebasan lahan seluas 8.416 meter persegi yang dibagi ke dalam tiga zona.
Zonasi ini bertujuan untuk mengatur aktivitas dan pembangunan agar tidak mengganggu fungsi asli punden dan karakter lingkungannya. Situs dibagi menjadi tiga zonasi: zona 1 (struktur bebatuan dan bentengan Gunung Padang), zona 2 (zona penyangga, lereng bukit yang tidak boleh diubah strukturnya), dan zona 3 (zona pengembangan). “Zona inti dan zona penyangga memang tidak boleh ada bangunan-bangunan baru, galian-galian, atau bangunan-bangunan permanen karena nanti akan mengganggu struktur yang di atas,” jelas seorang petugas dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 9 Jawa Barat. “Kecuali zona pengembang itu boleh dibangun bangunan yang baru, itu pun harus dikaji dulu.”
Melalui BPK Wilayah 9 Jawa Barat, situs Gunung Padang secara rutin dipantau untuk mengidentifikasi kerusakan atau ancaman yang mungkin terjadi.
Sadar akan nilai sejarah dan arkeologi yang besar dari situs Gunung Padang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tengah mengusung rencana untuk kembali melanjutkan penelitian yang sempat terhenti sejak tahun 2014, untuk mengungkap fakta empiris situs Gunung Padang. Keseriusan melanjutkan penelitian Gunung Padang ditunjukkan dari skema pembiayaan penelitian berupa public-private partnership atau kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) yang diharapkan dapat mengurangi beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tanpa mengurangi kualitas riset.
“Situs Gunung Padang ini sudah menjadi cagar budaya nasional dan tentu sebagai situs cagar budaya kita perlu melakukan sebuah pelestarian yang di dalamnya ada perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan terhadap situs cagar budaya itu,” ujar seorang perwakilan Kementerian Kebudayaan. “Nah, tentu di dalam proses itu juga kita harus menuntaskan penelitian. Kita tidak tahu apakah bisa tuntas dalam waktu dekat atau jangka panjang. Tentu dalam penelitian berikutnya kita berharap berangkat dari apa yang sudah diteliti dengan menggunakan teknologi pendekatan terbaru multidisipliner. Ini yang kita harapkan ke depan bisa kita lakukan sehingga kita bisa merekonstruksi Gunung Padang itu apa, tujuan utamanya apa, dibuat yang jelas kalau saya termasuk yang berpendapat itu oleh manusia, human-made ya atau man-made.”
Dalam prosesnya, penelitian akan dilakukan secara komprehensif, termasuk pemugaran struktur cagar budaya untuk merekonstruksi dan mengkaji sejarah lintasan periode yang terjadi di Gunung Padang. Para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, baik nasional maupun internasional, pun turut dilibatkan.
“Kemungkinan besar harus berada di tempat yang sama, itu sudah pasti karena secara geografis memang di situ adalah puncak dari bukit itu yang ada di sekitar bukit tersebut ya,” tambah perwakilan tersebut. “Dan kalaupun dilakukan pemugaran itu sebenarnya lebih pada rekonstruksi mungkin ini ya. Tapi tentu yang akan memutuskan adalah para ahli bagaimana bentuk dari situs itu. Karena kalau bentuk dari dasar dari strukturnya kan sudah ada susunan-susunan batu itu. Tapi susunan yang berada di atasnya yang disebut teras-teras itu kan relatif lebih mudah, tapi mungkin tidak semudah itu juga.”
Hasil penelitian Gunung Padang dianggap penting dalam konteks rekonstruksi narasi sejarah yang menitikberatkan pada perlawanan dan kejayaan peradaban kuno Indonesia, untuk membangun generasi muda yang bangga dengan jati diri bangsa sendiri. “Narasi ini penting supaya kita ini percaya diri bahwa kita ini peradaban yang tertua,” tutup seorang ahli. “Agak beda kalau kita narasi dibangun atau proses character building kita dibangun sebagai bangsa yang merdeka dari Belanda yang menjajah kita 350 tahun. Itu beda. Ini bagian dari proses untuk reinventing Indonesian identity. Menemukan kembali identitas nasional, identitas bangsa kita.”
Perbedaan pandangan tentang Gunung Padang adalah bagian dari dinamika ilmiah yang pada akhirnya akan menghasilkan sintesis baru. Untuk itu, pelestarian situs Gunung Padang menjadi langkah penting untuk memastikan warisan peradaban Nusantara ini tetap terjaga bagi generasi mendatang.
Sumber: youtube